BAB II
ISI
Perjalanan bangsa indonesia pada masa demokrasi
parlementer diwarnai oleh 7 masa kabinet yang berbeda. Kabinet-kabinet ini adalah Natsir, Sukiman,
Wilopo, Ali Sastroamidjojo I, Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamidjojo II, dan Djuanda. Kabinet ini bertanggung jawab
langsung pada parlemen. Kinerja
kabinet-kabinet ini seringkali ditentang oleh parlemen karena parlemen adalah
kelompok oposisi yang kuat. Karena itu sering terjadi konflik dalam pembuatan
kebijakan - kebijakan negara. Berikut adalah kabinet – kabinetnya :
·
Kabinet Natsir (6 September
1950 – 18 April 1951) :
Kabinet ini bertanggung jawab dalam meningkatkan keamanan dan ketertiban,
menyempurnakan susunan pemerintahan negara, serta memperjuangkan masalah irian
barat. Kabinet ini berhasil mencetuskan politik luar negeri, membawa Indonesia
aktif dalam PBB dan sudah merundingkan masalah irian barat dengan belanda,
sayangnya perundingan ini gagal sehingga parlemen menjadi tidak percaya pada
kabinet natsir.
·
Kabinet Sukiman (26 April
1951- 1952) :
Kabinet ini masih memperbaiki ketertiban dan keamanan negara, memperjuangkan
irian barat dan mensejahterakan rakyat. Kemanan negara belum juga stabil,
sehingga menjadi hambatan bagi kinerja kabinet. Hasil kerja kabinet tidak
maksimal karena banyak konflik politik. Kabinet gagal menangani masalh keamanan
negara dan Indonesia dari Nonblok menjadi memihak ke blok barat.
·
Kabinet Wilopo (19
Maret 1952 – 2 Juni 1953) :
Tugas kabinet ini adalah memakmurkan rakyat, mempersiapkan pemilu, dan
memperjuangkan irian barat serta memperbaiki politik luar negri indonesia. Kabinet ini mengalami banyak hambatan
sehingga banyak kegagalan dan Sarekat Tani indonesia mejadi tidak percaya pada
kabinet ini. Hambatannya antara lain konflik di tubuh angkatan darat dan
peristiwa Tajung Morawa di sumara Utara.
·
Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955) :
Kabinet ini bertugas mempersiapkan pemilu,
mengatasi pemberontakan dan melakasanakan politk luar negri bebas aktif.
Kabinet ini berhasil menyusun panitia persiapan pemilu, sukses melaksanakan
konferensi Asia Afrika, dan memperbaiki hubungan dengan China. Sayangnya
kabinet gagal memperjuangkan Irian Barat, masih ada pemberontakan dan masih ada
konflik di tubuh angkatan darat.
·
Kabinet Burhanudin
Harahap (Agustus 1955- 3 Maret 1596) :
Tugas kabinet ini adalah menyelenggarakan pemilu, memberantas korupsi, dan mengangkat
kembali AH Nasution sebagai KSAD pada 28 Oktober 1955. Berhasil melaksanakan
pemilu, mebubarkan Uni Indonesia Belanda, dan berhasil menentukan sistem
parlemen Indonesia. Sayangnya banyak konflik terjadi antara para pemenang
pemilu sehingga sidang parlemem menjadi deadlock.
·
Kabinet Ali
Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957) :
Tugas kabinet ini adalah masih memperjuangkan Irian Barat, mencoba meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mempercepat proses pembentukan daerah otonom di Indonesia,
dan mengganti sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Hasil
dari kabinet ini adalah ditandatangani
undang - undang pembatalan KMB oleh Soekarno, beralih kepemilikan perusahaan
belanda ke orang Tionghoa, dan kepentingan belanda diperlakukan sesuai dgn
hukum yg berlaku di Indonesia. Sayangnya
mucnul sentimen anti-China dalam
masyarakat, tidak stabilnya kondisi pemerintah dengan partai politikm
dan muncul banyak gerakan separatis.
·
Kabinet Djuanda (9
April 1957 – 10 Juli 1959) :
Program kerja cabinet ini adalah membentuk dewan nasional, normalisasi republik
indonesia, memperjuangkan lancarnya pelaksanaan pembatalan hasil KMB,
memperjuangkan Irian barat, dan mengintensifkan pembangunan. Berhasil membentuk
dewan nasional, memberantas koruptor, menormalisasi daerah - daerah yang
melakukan pemberontakan, dan menetapkan peraturan kelautan dalam deklarasi
djuanda tanggal 13 Desember 1957. Sayangnya masih banyak pemberontakan di
daerah - daerah.
Kegagalan konstituante dalam pembentukan undang -
undang baru disebabkan karena kondisi politik negara pada saat itu tidak stabil
denagn adanya gerakan - gerakan yang mengancam. Konstituante melaksanakan
sidang pertama tanggal 20 november 1956. Di awal kinerja ini belum ada
kebulatan suara antar kelompok dan konstituante. Banyak orang yang tidak setuju
dengan hasil sidang sperti tidak setujunya orang dengan masuknya ‘menjalankan
syariat islam’ pada preambulke UUD.
Banyak orang yang mementingkan kelompok sendiri sehingga konstituante
kurang bersatu dan sering berujung pada kebuntuan, yang akhirnya konsitutante
melaksanakan reses.
Demokrasi Parlementer diganti dengan Demokrasi
Termpimpin karena munculnya potensi ancaman konflik internal yang disebabkan
oleh benturan kepentingan antarkelompok politik. Puncaknya adalah dibubarkannya
konstituante karena gagal menyusun undang-undang. Peraturan
Prt/Perperu/040/1959 yang berisi larangan bagi seluruh aktivitas yang berbau
politik dikeluarkan untuk mengatasi potensi ancaman konflik tersebut.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 berisi sebagai berikut:
1. Pembubaran
Konstituante.
2. Tidak
berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi NRI.
3. Pembentukan
MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
Pemberlakuan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah momen pergantian sistem demokrasi Indonesia
menjadi Demokrasi Terpimpin/Presidensial.
Pada 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Kerja yang
program kerjanya mencakup keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan
peningkatan produksi sandang pangan. Presiden Soekarno menjadi perdana menteri
kabinet tersebut dengan Ir. DJuanda sebagai wakilnya.
Pada sistem demokrasi ini semua lembaga negara harus
berasal dari aliran nasionalis, agama, dan komunis. Penetapan Presiden No. 2
tahun 1959 menetapkan bahwa anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh
Presiden Soekarno dan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Setuju
kembali pada UUD 1945.
2. Setuju
pada perjuang RI.
3. Setuju
dengan Manifesto Politik.
Penjelasan dan pertanggungjawaban Dekrit Presiden 5
Juli 1959 diumumkan melalui pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita” oleh
Presiden Soekarno. DPA mengusulkan agar pidato Presiden Soekarno tersebut
dijadikan Garis-garis Besar Haluan negara dengan nama Manifesto Politik RI.
Pada siding MPRS tahun 1960 dikeluarkan ketetapan MPRS/1/MPRS/1960 yang
menetapkan MANIPOL dijadikan sebagai GBHN.
Pada 5 Maret 1960 DPR dibubarkan dan digantikan oleh
DPR-GR pada 24 Juni 1960 yang ditunjuk oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah
melaksanakan MANIPOL, merealisasi Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi
Terpimpin.
Beberapa partai politik tidak setuju dengan
pembubaran DPR dan para tokoh partai oposisi tersebut membentuk Liga Demokrasi,
tetapi tidak berjalan baik karena perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh
tersebut. Beberapa
badan-badan lain yang dibentuk oleh Presiden adalah DPA, DEPERNAS, dan Front
Nasional. Front Nasional yang diketuai Presiden Soekarno, didirikan melalui
Penetepan Presiden No. 13 tahun 1959 untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi
dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Partai
Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang
menerima Pancasila sebagai dasar negara RI sebagai taktik untuk mengambil alih
kekuasan di Indonesia. NASAKOM yang dimaksudkan untuk merangkul
kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak demokrasi liberal, ternyata
justru menguntungkan PKI. Kedudukan PKI dan penghargaan pemerintah terhadapnya
semakin meningkat. Perkembangan selanjutnya ditetapkannya MANIPOL sebagai
satu-satunya ajaran revolusi di Indonesia sehingga fungsi Pancasila semakin
kabur. Situasi tersebut dimanfaatkan PKI untuk semakin mengecilkan arti
Pancasila.
Periode 1945-an, yaitu pada masa demokrasi
parlementer, kemerdekaan membawa dampak besar bagi masyarakat Indonesia.
Revolusi mendorong terhapusnya diskriminasi dan pembagian kelas sebagai salah
satu ciri masyarakat kolonial. Seluruh masyarakat Indonesia dari segala
golongan bersatu membela negara dan mempertahankan kemerdekaan. Semangat
kesetiakawanan sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan
masyarakat pedesaan untuk membantu dalam perang dan menyediakan makanan dan
tempat tinggal. Begitu juga dengan para pengungsi korban perang.
Kaum wanita juga berperan pada masa revolusi. Wanita
ikut aktif tidak hanya di dapur tetapi memanggul sanapan juga. Pada
15-17 Desember 1945, diselengarakan Kongres Wanita Indonesia yang
dihadiri beberapa organisasi seperti Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan
Wanita Negara Indonesia (Wani) di Klaten. Kedua organisasi ini berfusi dalam
organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Pada 24-26 Februari
1946 diadakan konferensi yang dihadiri oleh beberapa organisasi, dan mendirikan
Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi wanita yang bergabung dalam
Kowani adalah Perwari, Pemuda Putri Indonesia (PPI), Wanita Kristen Indonesia,
dan Partai Katolik RI Bagian Wanita. Pada kongres Kowani 2 di Madiun pada 14-16
Juni 1945, jumlah anggota sudah bertambah menjadi 14 organisasi. Beberapa
organisasi yang sudah bergabung adalah Muslimat, Aisyiah, Barisan Buruh Wanita
(BBI), dan Laskar Wanita Indonesia (Laswi).
Dibidang pendidikan, pemerintah RI menyadari
pentingnya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada 27 Desember
1945, dibentuk panitia yang bertugas di bidang pengajaran dan pendidikan yaitu
Panitia Penyelidik Pengajaran. Tujuan umum dari panitia tersebut adalah utuk
mendidik anak-anak menjadi warga negara yang berguna. Dasar-dasar pendidikan
yaitu demokrasi, kemerdekaan, dan keadilan. Panitia tersebut juga mengadakan
usaha untuk pemberantasan buta huruf dengan membangun kursus pemberantasan buta
huruf bagi pria maupun wanita.
Pada bidang bahasa, pengembangan bahasa Indonesia
mendapat peluang besar setelah Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan
mendorong masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia. Saat itu bahasa
Indonesia digunakan di bidang administrasi, pendidikan, komunikasi massa,
kesusastraan, dan lainnya. Ketika masa kemerdekaan, bahasa Indonesia menjadi
bahasa nasional dan dipakai dalam penulisan teks proklamasi. Mr.R.Suwardi
membentuk Komisi Bahasa pada 16 Juni 1947. Tugas Komisi Bahasa adalah
menyederhanakan ejaan yang dilakukan Ophuyzen pada 1901 dan membentuk istilah
baru dalam Bahasa Indonesia. Hasil dari Komisi Bahasa adalah Ejaan Republik
atau Ejaan Suwandi.
Dalam bidang media massa, surat kabar yang terbit,
aktif menghidupkan semangat perjuangan dan mereka anti Belanda. Dengan membaca
surat kabar terbitan Indonesia, berarti kita menunjukkan sikap pro-republik.
Sampai Desember 1948, ada 124 surat kabar dan pada akhir tahun 1949 ada 166
buah. Radio merupakan alat komunikasi. RRI harus berpindah-pindah untuk
menghindari serangan Belanda. Selain RRI ada juga Radio Pemberontak di
Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Dari surat
kabar dan radio inilah, perjuangan bangsa Indonesia diketahui masyarakat
international dan mereka mendukung bangsa Indonesia.
Di bidang olahraga, Bangsa Indonesia mengadakan
peckn Olahraga Nasional yang menyatukan Bangsa Indonesia dari berbagai derah. Terselenggaranya
PON (Pekan Olahraga Nasional 1) di Solo dan pembukannya diselenggarakan di
Istana Presiden di Yogyakarta.
Pada periode 1950-an, prioritas pemerintah RI dalam
bidang pendidikan adalah membangun
universitas-universitas untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Pemerintah
menekankan pentingnya pendidikan teknik sebagai langkah untuk menguasai dunia
modern. Dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1950 yang mewajibkan
Mentri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat untuk
mengambil tindakan dalam mengkondisolidasikan universitas di Indonesia.
Media massa dan pers berkembang pesat karena adanya
system Demokrasi Parlementer sehingga kebebasan dan liberalisme dalam hal
penulisan berita mulai bertambah. Hal ini tercermin pada penyelenggaraan
Seminar Pers di Tugu, Bogor pada 24-26 Juli 1955 yang dihadiri perwakilan dari
17 harian dan instansi pemerintahan. Pers tidak bersifat regional artinya pers
tidak berkonsentrasi pada satu daerah saja. Oplah harian ibukota Jakarta pada tahun
1954 yang berjumlah 188.500 eksemplar lebih sedikit daripada oplah total
harian-harian daerah yang berjumlah 321.650. Hal ini menunjukkan masayrakat
Indonesia mulai meningkatkan kesadarannya untuk selalu memperbaharui
pengetahuan tentang dunia luar, khususnya teknologi, politik, dan budaya.
Pada periode 1960-an, yaitu pada masa demokrasi
terpimpin, dalam bidang pendidikan, masyarakat mulai menjajaki pendidikan
tinggi. Materi pengajaran terkait denga ide-ide dan ajaran Pemimpin Besar
Revolusi dan doktrin Manipol-Usdek. Dikeluarkannya Tridharma Perguruan Tinggi
yang berisi tentang dasar-dasar sifat perguruan tinggi yaitu pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
Dalam kehidupan politik, PKI mendominasi dengan
semboyannya yaitu politik adalah
panglima. PKI berusaha menempatkan seluruh kehidupan masyarakat agar berada
di bawah kekuasaannya. Kehidupan kampus terdistorsi oleh praktik PKI dan
mahasiswa yang tidak mau mengikuti pergerakan yang digagas PKI akan
dideterminasi oleh CGMI (consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia)
Dalam bidang musik, musik pop dianggap musik ngak ngik ngok oleh PKI. Kelompok
music Koes Bersaudara ditahan oleh
karena pidato Soekarno tentang Manipol yang mengecam music pop dan rock and roll. Presiden melihat bahwa
hal tersebut merupakan manifestasi dari cita-sita imperialism Barat dalam
bidang seni dan budaya. Presiden melarang berkembangnya Manifestasi Kebudayaan
(Manikebu) yang berisi tentang humanisme universal. Hal ini menekankan
kebebasan individu untuk menciptakan karya seni yang kreatif dan independen.
Manikebudicetuskan oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soegito
dengan lembaga naungannya yaitu Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI).
Larangan terhadap Manikebu dikeluarkan Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964
2.2 Pembahasan
Demokrasi parlementer dan demokrasi
terpimpin mempengaruhi bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda dan mempunyai
cara yang berbeda – beda dan dampaknnya berbeda – beda pula bagi bangsa
Indonesia.
Sistem demokrasi suatu negara dapat
ditinjau dari berbagai bidang, seperti bidang politik dan sosial budaya. Pada
bidang politik menurut penulis sistem Demokrasi Terpimpin lebih baik bagi
bangsa Indonesia dibandingkan dengan sistem Demokrasi Parlementer, meskipun
kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Demokrasi Terpimpin lebih baik karena pada Demokrasi Parlementer aspirasi
masyarakat tidak tersalurkan dengan baik akibat partai-partai politik yang
mementingkan kelompoknya sendiri yang disertai dengan jatuh bangun
kabinet-kabinet. Pada Demokrasi Terpimpin partai-partai politik tidak lagi
memiliki peran utama dalam pemerintahan sehingga partai-partai politik tidak
dapat lagi mementingkan keinginan kelompoknya sendiri. Demokrasi Terpimpin berusaha
menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.
Di bidang budaya, menurut penulis
demokrasi parlementer lebih baik untuk bangsa Indonesia karena pada masa ini
rakyat Indonesia bersatu mempertahankan bangsa. Pada masa ini bidang kebudayaan
dan pendidikan berkembang dengan cepat, dan media massa juga semakin berkembang
sehingga semangat perjuangan rakyat semakin berkobar.
Di
bidang budaya, menurut penulis demokrasi parlementer lebih baik untuk bangsa
Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat demokrasi parlementer lebih baik
dari pada demokrasi terpimpin. Pertama, dapat dilihat bahwa pada masa demokrasi
parlementer, rakyat Indonesia bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan dan
berjuang bersama – sama, pria maupun wanita. Kedua, perkembangan dalam bidang
kebudayaan dan pendidikan di Indonesia menjadi sangat cepat. Bisa dilihat bahwa
pada masa ini banyak universitas – universitas yang dibangun untuk mendidik
rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang berguna dan ilmu pengetahuan pun
menjadi berkembang. Ketiga, dapat dilihat bahwa media massa berkembang dan
jumlah surat kabar meningkat. Surat kabar aktif menghidupkan semangat
perjuangan rakyat Indonesia.