Sabtu, 13 April 2013

BAB II


BAB II
ISI


2.1 Teori

Perjalanan bangsa indonesia pada masa demokrasi parlementer diwarnai oleh 7 masa kabinet yang berbeda.  Kabinet-kabinet ini adalah Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjojo I, Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamidjojo II,  dan Djuanda. Kabinet ini bertanggung jawab langsung pada parlemen.  Kinerja kabinet-kabinet ini seringkali ditentang oleh parlemen karena parlemen adalah kelompok oposisi yang kuat. Karena itu sering terjadi konflik dalam pembuatan kebijakan - kebijakan negara. Berikut adalah kabinet – kabinetnya :

·        Kabinet Natsir (6 September 1950 – 18 April 1951) :
Kabinet ini bertanggung jawab dalam meningkatkan keamanan dan ketertiban, menyempurnakan susunan pemerintahan negara, serta memperjuangkan masalah irian barat. Kabinet ini berhasil mencetuskan politik luar negeri, membawa Indonesia aktif dalam PBB dan sudah merundingkan masalah irian barat dengan belanda, sayangnya perundingan ini gagal sehingga parlemen menjadi tidak percaya pada kabinet natsir.

·        Kabinet Sukiman (26 April 1951- 1952) :
Kabinet ini masih memperbaiki ketertiban dan keamanan negara, memperjuangkan irian barat dan mensejahterakan rakyat. Kemanan negara belum juga stabil, sehingga menjadi hambatan bagi kinerja kabinet. Hasil kerja kabinet tidak maksimal karena banyak konflik politik. Kabinet gagal menangani masalh keamanan negara dan Indonesia dari Nonblok menjadi memihak ke blok barat.

·        Kabinet Wilopo (19 Maret 1952 – 2 Juni 1953) :
Tugas kabinet ini adalah memakmurkan rakyat, mempersiapkan pemilu, dan memperjuangkan irian barat serta memperbaiki politik luar negri indonesia.  Kabinet ini mengalami banyak hambatan sehingga banyak kegagalan dan Sarekat Tani indonesia mejadi tidak percaya pada kabinet ini. Hambatannya antara lain konflik di tubuh angkatan darat dan peristiwa Tajung Morawa di sumara Utara.

·        Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955) :
Kabinet ini bertugas mempersiapkan pemilu,  mengatasi pemberontakan dan melakasanakan politk luar negri bebas aktif. Kabinet ini berhasil menyusun panitia persiapan pemilu, sukses melaksanakan konferensi Asia Afrika, dan memperbaiki hubungan dengan China. Sayangnya kabinet gagal memperjuangkan Irian Barat, masih ada pemberontakan dan masih ada konflik di tubuh angkatan darat.

·        Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955- 3 Maret 1596) :
Tugas kabinet ini adalah menyelenggarakan pemilu, memberantas korupsi, dan mengangkat kembali AH Nasution sebagai KSAD pada 28 Oktober 1955. Berhasil melaksanakan pemilu, mebubarkan Uni Indonesia Belanda, dan berhasil menentukan sistem parlemen Indonesia. Sayangnya banyak konflik terjadi antara para pemenang pemilu sehingga sidang parlemem menjadi deadlock.

·        Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957) :
Tugas kabinet ini adalah masih memperjuangkan Irian Barat, mencoba meningkatkan kesejahteraan rakyat, mempercepat proses pembentukan daerah otonom di Indonesia, dan mengganti sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Hasil dari kabinet  ini adalah ditandatangani undang - undang pembatalan KMB oleh Soekarno, beralih kepemilikan perusahaan belanda ke orang Tionghoa, dan kepentingan belanda diperlakukan sesuai dgn hukum yg berlaku di Indonesia.  Sayangnya mucnul sentimen anti-China dalam  masyarakat, tidak stabilnya kondisi pemerintah dengan partai politikm dan muncul banyak gerakan separatis.

·        Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959) :
Program kerja cabinet ini adalah membentuk dewan nasional, normalisasi republik indonesia, memperjuangkan lancarnya pelaksanaan pembatalan hasil KMB, memperjuangkan Irian barat, dan mengintensifkan pembangunan. Berhasil membentuk dewan nasional, memberantas koruptor, menormalisasi daerah - daerah yang melakukan pemberontakan, dan menetapkan peraturan kelautan dalam deklarasi djuanda tanggal 13 Desember 1957. Sayangnya masih banyak pemberontakan di daerah - daerah.

Kegagalan konstituante dalam pembentukan undang - undang baru disebabkan karena kondisi politik negara pada saat itu tidak stabil denagn adanya gerakan - gerakan yang mengancam. Konstituante melaksanakan sidang pertama tanggal 20 november 1956. Di awal kinerja ini belum ada kebulatan suara antar kelompok dan konstituante. Banyak orang yang tidak setuju dengan hasil sidang sperti tidak setujunya orang dengan masuknya ‘menjalankan syariat islam’ pada preambulke UUD.  Banyak orang yang mementingkan kelompok sendiri sehingga konstituante kurang bersatu dan sering berujung pada kebuntuan, yang akhirnya konsitutante melaksanakan reses.

Demokrasi Parlementer diganti dengan Demokrasi Termpimpin karena munculnya potensi ancaman konflik internal yang disebabkan oleh benturan kepentingan antarkelompok politik. Puncaknya adalah dibubarkannya konstituante karena gagal menyusun undang-undang. Peraturan Prt/Perperu/040/1959 yang berisi larangan bagi seluruh aktivitas yang berbau politik dikeluarkan untuk mengatasi potensi ancaman konflik tersebut.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi sebagai berikut:

1.     Pembubaran Konstituante.
2.     Tidak berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi NRI.
3.     Pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
Pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah momen pergantian sistem demokrasi Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin/Presidensial.

Pada 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Kerja yang program kerjanya mencakup keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan. Presiden Soekarno menjadi perdana menteri kabinet tersebut dengan Ir. DJuanda sebagai wakilnya.

Pada sistem demokrasi ini semua lembaga negara harus berasal dari aliran nasionalis, agama, dan komunis. Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 menetapkan bahwa anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Soekarno dan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1.     Setuju kembali pada UUD 1945.
2.     Setuju pada perjuang RI.
3.     Setuju dengan Manifesto Politik.

Penjelasan dan pertanggungjawaban Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diumumkan melalui pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita” oleh Presiden Soekarno. DPA mengusulkan agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan Garis-garis Besar Haluan negara dengan nama Manifesto Politik RI. Pada siding MPRS tahun 1960 dikeluarkan ketetapan MPRS/1/MPRS/1960 yang menetapkan MANIPOL dijadikan sebagai GBHN.

Pada 5 Maret 1960 DPR dibubarkan dan digantikan oleh DPR-GR pada 24 Juni 1960 yang ditunjuk oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, merealisasi Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.

Beberapa partai politik tidak setuju dengan pembubaran DPR dan para tokoh partai oposisi tersebut membentuk Liga Demokrasi, tetapi tidak berjalan baik karena perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh tersebut. Beberapa badan-badan lain yang dibentuk oleh Presiden adalah DPA, DEPERNAS, dan Front Nasional. Front Nasional yang diketuai Presiden Soekarno, didirikan melalui Penetepan Presiden No. 13 tahun 1959 untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara RI sebagai taktik untuk mengambil alih kekuasan di Indonesia. NASAKOM yang dimaksudkan untuk merangkul kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak demokrasi liberal, ternyata justru menguntungkan PKI. Kedudukan PKI dan penghargaan pemerintah terhadapnya semakin meningkat. Perkembangan selanjutnya ditetapkannya MANIPOL sebagai satu-satunya ajaran revolusi di Indonesia sehingga fungsi Pancasila semakin kabur. Situasi tersebut dimanfaatkan PKI untuk semakin mengecilkan arti Pancasila.

Periode 1945-an, yaitu pada masa demokrasi parlementer, kemerdekaan membawa dampak besar bagi masyarakat Indonesia. Revolusi mendorong terhapusnya diskriminasi dan pembagian kelas sebagai salah satu ciri masyarakat kolonial. Seluruh masyarakat Indonesia dari segala golongan bersatu membela negara dan mempertahankan kemerdekaan. Semangat kesetiakawanan sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat pedesaan untuk membantu dalam perang dan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Begitu juga dengan para pengungsi korban perang.

Kaum wanita juga berperan pada masa revolusi. Wanita ikut aktif tidak hanya di dapur tetapi memanggul sanapan  juga. Pada  15-17 Desember 1945, diselengarakan Kongres Wanita Indonesia yang dihadiri beberapa organisasi seperti Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) di Klaten. Kedua organisasi ini berfusi dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Pada 24-26 Februari 1946 diadakan konferensi yang dihadiri oleh beberapa organisasi, dan mendirikan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi wanita yang bergabung dalam Kowani adalah Perwari, Pemuda Putri Indonesia (PPI), Wanita Kristen Indonesia, dan Partai Katolik RI Bagian Wanita. Pada kongres Kowani 2 di Madiun pada 14-16 Juni 1945, jumlah anggota sudah bertambah menjadi 14 organisasi. Beberapa organisasi yang sudah bergabung adalah Muslimat, Aisyiah, Barisan Buruh Wanita (BBI), dan Laskar Wanita Indonesia (Laswi).

Dibidang pendidikan, pemerintah RI menyadari pentingnya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada 27 Desember 1945, dibentuk panitia yang bertugas di bidang pengajaran dan pendidikan yaitu Panitia Penyelidik Pengajaran. Tujuan umum dari panitia tersebut adalah utuk mendidik anak-anak menjadi warga negara yang berguna. Dasar-dasar pendidikan yaitu demokrasi, kemerdekaan, dan keadilan. Panitia tersebut juga mengadakan usaha untuk pemberantasan buta huruf dengan membangun kursus pemberantasan buta huruf bagi pria maupun wanita.

Pada bidang bahasa, pengembangan bahasa Indonesia mendapat peluang besar setelah Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan mendorong masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia. Saat itu bahasa Indonesia digunakan di bidang administrasi, pendidikan, komunikasi massa, kesusastraan, dan lainnya. Ketika masa kemerdekaan, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan dipakai dalam penulisan teks proklamasi. Mr.R.Suwardi membentuk Komisi Bahasa pada 16 Juni 1947. Tugas Komisi Bahasa adalah menyederhanakan ejaan yang dilakukan Ophuyzen pada 1901 dan membentuk istilah baru dalam Bahasa Indonesia. Hasil dari Komisi Bahasa adalah Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi.

Dalam bidang media massa, surat kabar yang terbit, aktif menghidupkan semangat perjuangan dan mereka anti Belanda. Dengan membaca surat kabar terbitan Indonesia, berarti kita menunjukkan sikap pro-republik. Sampai Desember 1948, ada 124 surat kabar dan pada akhir tahun 1949 ada 166 buah. Radio merupakan alat komunikasi. RRI harus berpindah-pindah untuk menghindari serangan Belanda. Selain RRI ada juga Radio Pemberontak di Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Dari surat kabar dan radio inilah, perjuangan bangsa Indonesia diketahui masyarakat international dan mereka mendukung bangsa Indonesia.

Di bidang olahraga, Bangsa Indonesia mengadakan peckn Olahraga Nasional yang menyatukan Bangsa Indonesia dari berbagai derah. Terselenggaranya PON (Pekan Olahraga Nasional 1) di Solo dan pembukannya diselenggarakan di Istana Presiden di Yogyakarta.

Pada periode 1950-an, prioritas pemerintah RI dalam bidang pendidikan  adalah membangun universitas-universitas untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Pemerintah menekankan pentingnya pendidikan teknik sebagai langkah untuk menguasai dunia modern. Dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1950 yang mewajibkan Mentri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat untuk mengambil tindakan dalam mengkondisolidasikan universitas di Indonesia.

Media massa dan pers berkembang pesat karena adanya system Demokrasi Parlementer sehingga kebebasan dan liberalisme dalam hal penulisan berita mulai bertambah. Hal ini tercermin pada penyelenggaraan Seminar Pers di Tugu, Bogor pada 24-26 Juli 1955 yang dihadiri perwakilan dari 17 harian dan instansi pemerintahan. Pers tidak bersifat regional artinya pers tidak berkonsentrasi pada satu daerah saja. Oplah harian ibukota Jakarta pada tahun 1954 yang berjumlah 188.500 eksemplar lebih sedikit daripada oplah total harian-harian daerah yang berjumlah 321.650. Hal ini menunjukkan masayrakat Indonesia mulai meningkatkan kesadarannya untuk selalu memperbaharui pengetahuan tentang dunia luar, khususnya teknologi, politik, dan budaya.

Pada periode 1960-an, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, dalam bidang pendidikan, masyarakat mulai menjajaki pendidikan tinggi. Materi pengajaran terkait denga ide-ide dan ajaran Pemimpin Besar Revolusi dan doktrin Manipol-Usdek. Dikeluarkannya Tridharma Perguruan Tinggi yang berisi tentang dasar-dasar sifat perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat

Dalam kehidupan politik, PKI mendominasi dengan semboyannya yaitu politik adalah panglima. PKI berusaha menempatkan seluruh kehidupan masyarakat agar berada di bawah kekuasaannya. Kehidupan kampus terdistorsi oleh praktik PKI dan mahasiswa yang tidak mau mengikuti pergerakan yang digagas PKI akan dideterminasi oleh CGMI (consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia)

Dalam bidang musik, musik pop dianggap musik ngak ngik ngok oleh PKI. Kelompok music  Koes Bersaudara ditahan oleh karena pidato Soekarno tentang Manipol yang mengecam music pop dan rock and roll. Presiden melihat bahwa hal tersebut merupakan manifestasi dari cita-sita imperialism Barat dalam bidang seni dan budaya. Presiden melarang berkembangnya Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) yang berisi tentang humanisme universal. Hal ini menekankan kebebasan individu untuk menciptakan karya seni yang kreatif dan independen. Manikebudicetuskan oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soegito dengan lembaga naungannya yaitu Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Larangan terhadap Manikebu dikeluarkan Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964

2.2 Pembahasan       

                  Demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin mempengaruhi bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda dan mempunyai cara yang berbeda – beda dan dampaknnya berbeda – beda pula bagi bangsa Indonesia.

          Sistem demokrasi suatu negara dapat ditinjau dari berbagai bidang, seperti bidang politik dan sosial budaya. Pada bidang politik menurut penulis sistem Demokrasi Terpimpin lebih baik bagi bangsa Indonesia dibandingkan dengan sistem Demokrasi Parlementer, meskipun kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Demokrasi Terpimpin lebih baik karena pada Demokrasi Parlementer aspirasi masyarakat tidak tersalurkan dengan baik akibat partai-partai politik yang mementingkan kelompoknya sendiri yang disertai dengan jatuh bangun kabinet-kabinet. Pada Demokrasi Terpimpin partai-partai politik tidak lagi memiliki peran utama dalam pemerintahan sehingga partai-partai politik tidak dapat lagi mementingkan keinginan kelompoknya sendiri. Demokrasi Terpimpin berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.

            Di bidang budaya, menurut penulis demokrasi parlementer lebih baik untuk bangsa Indonesia karena pada masa ini rakyat Indonesia bersatu mempertahankan bangsa. Pada masa ini bidang kebudayaan dan pendidikan berkembang dengan cepat, dan media massa juga semakin berkembang sehingga semangat perjuangan rakyat semakin berkobar.

         
Di bidang budaya, menurut penulis demokrasi parlementer lebih baik untuk bangsa Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat demokrasi parlementer lebih baik dari pada demokrasi terpimpin. Pertama, dapat dilihat bahwa pada masa demokrasi parlementer, rakyat Indonesia bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan dan berjuang bersama – sama, pria maupun wanita. Kedua, perkembangan dalam bidang kebudayaan dan pendidikan di Indonesia menjadi sangat cepat. Bisa dilihat bahwa pada masa ini banyak universitas – universitas yang dibangun untuk mendidik rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang berguna dan ilmu pengetahuan pun menjadi berkembang. Ketiga, dapat dilihat bahwa media massa berkembang dan jumlah surat kabar meningkat. Surat kabar aktif menghidupkan semangat perjuangan rakyat Indonesia.

1 komentar: